Finding Forrester
Arrrggghhhhh..........................
Kesal gw. Gw nggak punya banyak waktu kalau harus bolak-balik ke warnet untuk menumpahkan isi dari buah pikiranku ke dalam blogku ini. Saat aku di depan komputer dalam sebuah warnet seperti sekarang ini, aku harus mengalami beberapa hal yang sangat mengganggu konsentrasiku. Ruangan yang penuh dengan asap rokok membuat hawa dalam ruangan internet ini menjadi semakin panas. Ini sudah sangat menggangguku dalam menuangkan tulisanku. Aku harus mengibas-ngibakan kertas karena aku sudah sangat berkeringat.
Sudah sering kekesalanku kutumpahkan kepada manager yang mengelola warnet ini. Malah strategi marketing sering kuberikan agar banyak pengunjung yang datang. Disamping warga pemakaian yang terjangkau, pelayanan dan fasilitas juga mempengaruhi. Kalau kondisi ruangan ber ac sehingga terasa adem disana sini serta bebas dari polusi udara karena asap rokok menjadi pilihan dari orang yang senang surfing melalui dunia maya.
Kekesalanku berikutnya adalah jika saat aku sedang asik-asiknya mengetik dengan lantang kata-kata yang mengalir begitu derasnya, listrik harus padam. Sehingga hanya gelap dan suasana panas yang memenuhi ruangan. Sementara aku belum sempat mempublikasikannya dalam blogku atau sekedar untuk menyimpannya.
Arrrgggghhhhhhhhhh
Aku masih punya utang untuk menyelesaikan episode2 ceritaku dengan DR. Ritauli. Terus terang aku harus menyelesaikan ini. Dan temanku sudah menanati kelanjutannya. Sabar ya, fren?
Semalam aku begadang, karena harus menyelesaikan buku "Jakarta Paris Via French Kiss", salah satu buku bertema metropop yang sedang di gandrungi para penulis muda, gw masih menunggu buku ketiganya. Film tengah malam dalam sebuah televisi swasta mengisahkan seorang pemuda yang harus bisa menulis dan ikut dalam perlombaan di sekolahnya. Tanpa dia sadari dia harus bertemu dengan seorang penulis kenamaan yang sudah menjadi legenda tetapi ia mengasingkan diri dengan berganti identitas. Namanya sewaktu menulis buku perdananya adalah William Forrester. Dan buku ini menjadi fenomena saat pelajaran sastra di sekolahnya.
Saat penulis dan murid bertemu di rumahnya, dengan mesin ketik di hadapannya. Forrester berpesan bahwa memulai menulis bukan dengan berpikir apa yang akan di tulis tapi dengan cara "menulis".
Di pukul 2.30, aku selalu memikirkan kata-kata ini, menulai menulis bukan dengan berpikir tetapi dengan menulis. Karena sudah terlalu capek aku memilirkannya, aku tertidur tanpa mematikan televisi yang masih melek sampai pagi hari.